Jakarta, CNN Indonesia -- Pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo bahwa Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) akan rampung pada September 2019 patut menjadi 'lampu kuning' untuk masyarakat. Berbicara dalam simposium Diskusi Publik dan Simposium Nasional RUU Kamtansiber, Bambang mengutip hasil Penelitian Frost & Sullivan pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian mencapai Rp478,8 triliun. Bamsoet juga menyinggung terputusnya aliran listrik yang menyelimuti sebagian Pulau Jawa beberapa waktu lalu. Walaupun bukan terjadi karena serangan siber, menurutnya, tak menutup kemungkinan suatu saat nanti aktivitas siber Indonesia tiba-tiba diserang. Ancaman serangan siber harus diwaspadai. Itu betul. Tetapi, benarkah Indonesia sudah masuk dalam kategori darurat, sehingga RUU Kamtansiber harus segera disahkan menjadi Undang-Undang, itu yang menjadi pertanyaan? Tunjukkan peristiwa terkait siber yang paling berdampak dalam lima tahun terakhir. Selain itu, upaya DPR periode 2014-2019 mengebut pengesahan RUU Kamtansiber menjadi Undang-Undang --akan rampung kurang lebih sebulan lagi-- mengundang tanda tanya. Hal ini perlu dikhawatirkan karena berpotensi menjadi pintu masuk bangkitnya Hantu 'Orde Baru' di era digital. RUU Kamtansiber memang langsung mengingatkan saya pada novel Nineteen Eighty-Four atau 1984 karya Eric Arthur Blair alias George Orwell. Novel terbitan tahun 1949 itu menceritakan tentang kekuatan-kekuatan yang mengancam kemerdekaan individu. Diceritakan di novel itu ada satu alat yang digunakan pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku masyarakat. Teleskrin nama alatnya. Teleskrin digunakan pemerintah untuk mengawasi warga. Teleskrin menjadi alat pengawas yang akan mengawasi tingkah laku orang. RUU Kamtansiber itu, justru akan membuat 'ramalan' Orwell menjadi nyata. Seluruh urusan masyarakat yang berkaitan dengan dunia siber akan dipantau. Perilaku dan informasi di dunia siber rawan diintip oleh pemerintah. Kekhawatirannya, pemerintah bisa mengintip apa yang Anda belanjakan di situs e-commerce, makanan kesukaan Anda, atau kecenderungan politik Anda. Bahkan, mungkin saja apa yang anda ketikkan di kolom kotak pencarian mesin pencari dapat diintip pemerintah. Dalam draft RUU Kamtansiber, negara akan memonopoli penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber. Pasal 4 ayat (3) RUU Kamtansiber menyebutkan, "Pemerintah Pusat menugaskan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk mengoordinasikan dan mengoperasikan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber agar sesuai kepentingan Siber Indonesia" BSSN yang selama ini berkutat pada tugas melaksanakan keamanan siber akan menjelma menjadi lembaga "Superbody" di Indonesia. Meskipun tak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan, seluruh informasi siber akan terpusat di BSSN. Mengapa? Pasal 31 draft RUU Kamtansiber, menyebutkan "Dalam rangka melaksanakan kegiatan keamanan dan ketahanan siber penyelenggara keamanan dan ketahanan siber wajib membentuk pusat operasi keamanan dan ketahanan siber." Pusat operasi keamanan dan ketahanan siber sebagaimana yang dimaksud wajib terkoneksi dengan pusat operasi keamanan dan ketahanan nasional. Siapa yang memegang kendali pusat operasi keamanan dan ketahanan nasional? Pasal 31 ayat 4 menyatakan, pusat operasi keamanan dan ketahanan siber nasional diselenggarakan oleh BSSN. Peran-peran terkait informasi penegakan hukum yang selama ini diselenggarakan oleh institusi lain, seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK dipaksa 'menginduk' kepada BSSN karena Komando keamanan dan ketahanan siber nasional ini ada di tangan BSSN. Pasal 9 draft RUU Kamtansiber membahas bahwa koordinasi dan kolaborasi penyelenggara keamanan dan ketahanan siber dikonsolidasikan oleh BSSN. Posisi BSSN yang menjadi jangkar dalam urusan keamanan dan ketahanan siber justru akan merusak harmonisasi antarlembaga. Sebab, pembagian wewenang dan fungsi antar lembaga untuk mengatur keamanan siber belum jelas. 'Kelamin' BSSN nantinya akan dipertanyakan, apakah BSSN lembaga keamanan yang spesifik mengurus keamanan siber, apakah lembaga intelijen, apakah lembaga penegak hukum atau BSSN lembaga pertahanan.