Ekonomi Digital dan Keniscayaan Riset

 


Jakarta - 

Lingkungan strategis yang kondusif merupakan tantangan membangun ekonomi digital sebagai tumpuan masa depan bangsa. Apalagi ekonomi digital bertabur pesona. Ekonomi anyar ini jadi magnet bukan hanya karena menjanjikan cuan menggoda, tapi juga ampuh menciptakan dampak sosial yang nyata.

Saking menariknya, tema ekonomi digital tak luput jadi sajian menu di panggung debat pilpres. Lantas berkembang mengisi relung diskusi politik yang kian memanas, meski masih dalam narasi lawas. Sekadar untuk menggantang popularitas.

Efek "manggung" di debat capres, ekonomi digital menuai atensi luas. Terutama dari warganet yang telah menjelma sebagai konsumen digital secara intens. Ekonomi digital kini digandrungi sebagai tema obrolan warung kopi, inklusif, dan lintas batas.

Pemerintah memang telah mencanangkan angka-angka ambisius sebagai misi. Indonesia ditargetkan punya 44 usaha rintisan lokal berstatus unicorn yang berarti punya kapitalisasi tinggi. Yaitu, start-up yang mengantongi nilai 1 miliar dolar AS atau setara Rp 14,3 triliun sebagai standar valuasi.

Berita baiknya, hingga 2019 Indonesia sudah punya empat unicorn yang semuanya merupakan karya anak bangsa. Angka itu melampaui jumlah unicorn di Jepang dan Korea, dua negara Asia yang dikenal amat inovatif dan rahim bagi lahirnya produk-produk teknologi kelas dunia. Artinya, di dunia digital, Indonesia bukan lagi bangsa kelas dua. Sebuah pencapaian yang patut membuat kita bangga.

Pemerintah sendiri sudah tampak on the track dalam memacu industri digital. Meski harus diakui tak sedikit kekurangan yang harus ditambal. Terutama setelah Indonesia dicanangkan sebagai pusat ekonomi digital Asia Tenggara 2020, yang berarti bahwa kita dituntut siap berhadapan dengan raksasa-raksasa digital di kancah global.

Mengejar mahkota sebagai kampiun ekonomi digital sembari membenahi lingkungan strategis bukanlah ambisi muluk-muluk. Berbagai riset memperlihatkan bahwa jagat ekonomi digital di negeri ini bertabur kabar baik, melambungkan optimisme. Di antaranya, Indonesia duduk di peringkat 6 negara yang paling produktif melahirkan usaha rintisan digital. Negeri ini juga dinobatkan sebagai digital hub di kancah global.

Menurut riset Young & Rubicam dan Wharton School of the University of Pennsylvania, Indonesia adalah satu dari 12 negara yang paling ramah terhadap start-up digital. Di samping derasnya arus kepercayaan dan apresiasi dunia, dukungan masyarakat yang merefleksikan potensi pasar juga sangat menjanjikan. Pertumbuhan pengguna internet sebagai satu instrumen untuk melihat sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap digitalisasi amat impresif. Per 2018, pengguna internet Indonesia mencapai 150 juta jiwa.

Demikian pula dukungan infrastruktur internet yang membaik. Menyitir riset Hootsuite dan We Are Social, kecepatan unduh di Indonesia naik dari 9,73 Mbps pada 2017 menjadi 9,82 Mbps pada Januari 2018. Meski angka itu masih berada di bawah beberapa negara Asia Tenggara lainnya, namun terlihat ada capaian peningkatan.

Di samping itu, sebaran penetrasi internet juga semakin meluas. Proyek Palapa Ring untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur internet ditargetkan rampung pada 2019. Proyek ini digadang-gadang sebagai backbone pemerataan digitalisasi.

Ringkasnya, dari aspek regulasi hingga infrastruktur, pemerintah bekerja dan melangkah maju. Menjadi wajar bila Indonesia diprediksi sebagai masa depan industri digital. Indonesia menjadi destinasi investasi menjanjikan yang diincar kampiun digital global.

Kendati telah mencatat banyak pencapaian, jalan Indonesia di kancah ekonomi digital masih sarat tantangan. Terutama bagi para pelaku ekonomi digital lokal yang harus berhadap-hadapan dengan raksasa global. Terlebih karena industri ini sangat dinamis, terus tumbuh, berkembang, dan menyajikan kejutan-kejutan menantang.

SDM dan Riset

Bila dukungan regulasi dan infrastruktur sudah banyak langkah maju, tampaknya tidak demikian dengan dukungan sumber daya manusia. Bank Dunia dan McKinsey mencatat masih terjadi gap antara kebutuhan dengan suplai talenta digital. Kedua lembaga ini menyebut dalam kurun waktu 2015-2030, Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital. Artinya, setiap tahun harus ada suplai sekitar 600 ribu orang.

Yang menyedihkan, tingginya tingkat kebutuhan tersebut tak diimbangi dengan ketersediaan tenaga digital yang terampil dan siap diserap industri. Bank Dunia mencatat terdapat banyak mismatch antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri digital saat ini.

Memang pemerintah berupaya mencari solusi. Misalnya merintis program pembangunan talenta digital. Namun, Digital Talent Scholarship yang digawangi Kementerian Komunikasi dan Informatika tentu masih jauh dari kata cukup. Program tersebut hanya menargetkan 20 ribu orang yang disiapkan sebagai tenaga terampil industri digital. Belum mumpuni untuk menyuplai SDM andal di tengah gegap gempita pertumbuhan industri digital.

Angkatan kerja yang tak kuasa menjawab kebutuhan industri digital tentu saja menjadi problem yang harus diurai dan dicari solusinya. Yang paling layak untuk ditagih tanggung jawabnya adalah institusi pendidikan yang lamban dalam bertransformasi, gagap membaca perubahan dan kebutuhan.

Akan semakin berisiko, sebab ekonomi digital perlahan menggiring kita ke era industri 4.0, era industri otomasi. Peran manusia perlahan tereliminasi, diganti oleh teknologi robotisasi berbasis data yang diolah oleh machine learning dan kecerdasan buatan. Ancaman ini bukan isapan jempol. Ekonomi digital dewasa ini telah terbukti menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, tersisih oleh mesin dan aplikasi.

Selain kebutuhan talenta digital, kita juga dituntut menguatkan kultur riset menapaki era industri 4.0. Pasalnya, kebutuhan industri era otomasi bertumpu pada inovasi berbasis riset. Problemnya, riset di Indonesia masih kedodoran. Alih-alih melakukan lompatan kuantum di era industri 4.0, kita malah berkutat pada perdebatan jumlah anggaran riset, program pengembangan budaya riset, hingga bingung bagaimana adopsi hasil riset untuk industri.

Pada poin ini, kritik Achmad Zaky tentang minimnya anggaran riset yang sempat heboh itu, saya kira menemukan ruangnya. Apa yang disampaikan CEO Bukalapak tersebut merupakan potret kegalauan pelaku industri digital yang dituntut mengarungi industri 4.0, namun dengan dukungan minimalis. Itu yang dirasakan oleh pelaku industri di tengah gelombang perubahan ekonomi digital yang terus menderu.

Menggawangi Bukalapak yang bermahkota unicorn dengan sokongan dana jumbo, kegundahan Achmad Zaky tentu tak seberat yang dihadapi oleh start-up di level bawahnya. Start-up kecil yang terbatas dari aspek pendanaan, namun dituntut melakukan riset untuk berinovasi menapaki kompetisi yang kian ketat.

Bukalapak memang terbilang start-up yang berhasil memelopori budaya riset secara kelembagaan. Unicorn ini telah membangun pusat riset dengan menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB). Yaitu, Bukalapak-ITB Artificial Intelligence and Cloud Computing Innovation Center. Langkah ini tentu layak diapresiasi, inspirasi bagi pelaku industri lain di tengah keterbatasan pemerintah.

https://news.detik.com/kolom/d-4467543/ekonomi-digital-dan-keniscayaan-riset


Share:

Arsip Blog

Recent Posts